CINTA YANG TEPAT

Seorang ustadz pernah berkata dalam khutbahnya: “Cinta itu baru ada jika seseorang telah menikah. Jika belum menikah, itu bukan cinta namanya. Pacaran? Itu tidak ada dalam Islam”. Sedang di sisi lain, seorang pemikir menancapkan ultimatumnya pada semesta dunia dengan mengatakan bahwa: “Hakikat cinta adalah memberi. Cinta adalah pekerjaan memberi. Memberi apa saja, sebanyak-banyaknya secara kontinu tanpa pernah terputus pada orang yang kita cintai.” Sampai di sini, agaknya nyambung antara kata sang ustadz dengan ultimatum sang pemikir bahwa pemberian itu baru akan menemukan konteksnya saat kita telah menikah. Disanalah kata kerja “memberi” menemukan habitatnya yang tepat. Lantas timbul sedikit pertanyaan: “Apakah kita tidak bisa memberi sedang kita belum menikah? Jikalau seandainya bisa, pada siapa tepatnya kita harus memberi?”

Jawaban dari kedua pertanyaan di atas adalah tentu bisa. Kita tetap bisa memberi meski kita belum menikah. Kita harus memberi pada diri kita sendiri. Memberi segala sesuatu yang bisa kita beri untuk diri kita sendiri. Memberi agar diri kita menjadi lebih baik. Tentu hal ini mencakup segala hal: kedewasaan, kematangan berpikir, pemahaman agama, kemampuan menciptakan materi, kesehatan fisik, jiwa sosial, kemampuan berkomunikasi, keterampilan-keterampilan lain, dan lain sebagainya. Kita harus memberi pada diri kita sendiri agar segala yang ada di dalam diri kita terus terupgrade. Dengan demikian, harapannya adalah, jauh sebelum kita menikah, kita telah memiliki bekal yang cukup yang mana bekal ini nantinya bisa kita gunakan untuk memberi pada orang di luar diri kita: pasangan kita, anak-anak kita, orang tua kita, mertua kita, anak-anak mertua kita, teman-teman kita, masyarakat lingkungan kita hingga penduduk yang skalanya jauh lebih luas.

Jadi seperti itu naturalnya: memberi sendiri terlebih dahulu agar kita memiliki bekal yang cukup untuk memberi pada orang lain. Buat yang belum menikah: yuk upgrade diri.